Kamis, 23 Oktober 2014

TAHUN BARU HIJRIYAH

Penetapan Kalender Hijriyah yang dilakukan pada zaman Umar bin Khaththab, diambil dari peristiwa hijrahnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam (ditemani Abu Bakar Radhiyallahu ‘Anhu) dari Makkah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan (nah, penyebutan bulan di sini adalah logis, karena tahun hijriyah mendasari perhitungannya pada bulan), dengan jumlah hari berkisar 29-30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman ALLAH SWT:

”Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) ad-Din yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa,” (At Taubah: 36).
1. Muharram
Artinya, yang diharamkan atau menjadi pantangan. Di bulan Muharram, dilarang untuk berperang.
2. Shafar
Artinya, kosong. Di bulan ini, lelaki Arab pergi untuk merantau atau berperang.
3. Rabi’ul Awal
Artinya masa kembalinya kaum lelaki yang merantau (shafar).
4. Rabi’ul Akhir
Artinya akhir masa menetapnya kaum lelaki.
5. Jumadil Awal
Artinya awal kekeringan. Maksudnya, mulai terjadi musim kering.
6. Jumadil Akhir
Artinya akhir kekeringan. Dengan demikian, musim kering berakhir.
7. Rajab
Artinya mulia. Zaman dahulu, bangsa Arab sangat memuliakan bulan ini.
8. Sya’ban
Artinya berkelompok. Biasanya bangsa Arab berkelompok mencari nafkah.
9. Ramadhan
Artinya sangat panas. Bulan yang memanggang (membakar) dosa, karena di bulan ini kaum Mukmin diharuskan berpuasa/shaum sebulan penuh.
10. Syawwal
Artinya kebahagiaan, peningkatan (setelah ujian Ramadhan, mestinya kualitas amaliah dan hidup menjadi meningkat).
11. Zulqaidah
Artinya waktu istirahat bagi kaum lelaki Arab.
12. Zulhijjah
Artinya yang menunaikan haji.

Sumber dari : http://www.ustazcyber.com/2012/12/tahun-baru-masehi-mitos-musyrik-romawi.html

Jumat, 04 Juli 2014

Puasa Tidak Hanya Sekedar Menahan Lapar dan Dahaga

Puasa adalah menahan dari makan, minum dan jima’ disertai dengan niat. Akan tetapi perlu diketahui bahwasanya puasa tidak hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum serta jima’ saja. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الجُوْعُ وَالعَطَشُ “Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan dari puasanya tersebut kecuali rasa lapar dan dahaga.” (HR. Ath Thobroni) Dari hadits tersebut dapat kita pahami bahwa tidak cukup bagi seseorang yang berpuasa hanya berupa rasa lapar dan dahaga saja -yang disebabkan karena menahan makan dan minum. Ini mengindikasikan bahwa puasa yang sebenarnya seharusnya lebih dari sekedar itu. Oleh karena itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan bahwa banyak orang yang dalam berpuasa tidak mendapatkan apa-apa padahal dia telah menahan dirinya dari makan dan minum. Kenapa banyak orang yang berpuasa tetapi tidak mendapatkan apa-apa? Puasa seseorang akan menjadi sia-sia dikarenakan ia tetap melakukan berbagai kemaksiatan-kemaksiaan kepada Allah. Hendaknya seseroang yang berpuasa tidak melakukan perbuatan-perbuatan maksiat yang bisa mengurangi bahkan menghilangkan pahala puasa. Sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: مَنْ لمَ ْيَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلِ بِهِ فَلَيْسَ ِللهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعْ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ “Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan mengerjakannnya, maka Allah tidak memerlukan orang itu untuk meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Al-Bukhari) Jadi Allah tidak membutuhkan puasa seseorang yang tidak meninggalkan kata-kata dusta, memfitnah, mengadu domba, dan yang sejenisnya yang termasuk dalam perkataan-perkataan yang buruk dan juga tidak meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diharamkan oleh Allah ta’ala. Maka yang dituntut ketika seseorang berpuasa adalah hendaknya berpuasa pula penglihatan, pendengaran, lisan, dan seluruh anggota badannya dari hal-hal yang dilarang oleh Allah ta’ala. Inilah puasa yang sebenarnya. Ada pun puasa seseorang yang hanya menahan diri dari makan dan minum dalam puasanya, maka inilah sejelek-jelek puasa seseorang sebagaiman yang diungkapkan oleh Ibnu Rojab, أَهْوَنُ الصِّيَامُ تَرْكُ الشَّرَابِ وَ الطَّعَامِ “Tingkatan puasa yang paling rendah adalah puasa yang hanya meninggalkan minum dan makan saja.” Maka perhatikanlah sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut agar kita bisa menahan diri kita dalam rangka menjaga puasa kita. Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallhu ‘anhu , bahwasannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, إِذَا كَانَ يَوْمَ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَصْخَبْ وَلاَ يَجْهَلْ، فَإِذَا شَاتَمَهُ أَحَدٌ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّي صَائِمٌ “Jika pada hari salah seorang diantara kalian berpuasa, maka janganlah ia mengucapkan kata-kata kotor, membuat kegaduhan dan tidak juga melakukan perbutan orang-orang bodoh. Dan jika ada orang yang mencacinya atau menyerangnya, maka hendaklah ia mengatakan, ‘Sesungguhnya aku sedang berpuasa.’” (HR. Bukhori) Bogor, 3 Ramadhan 1435 H/ 01 Juli 2014 Muhammad Ilyas —- Artikel ELSUNNAH.wordpress.com